Heritage Kotagede, Sarana Kelola Pusaka Budaya

Junior Heritage Experd JRF, Punto Wijayanto mengungkapkan, Sekber Heritage Kotagede merupakan forum koordinasi kegiatan yang terkait dengan pelestarian Kotagede secara lebih terkoordinasi. Selama ini pengelolaan pusaka budaya pasca gempa banyak mengalami kendala terutama karena faktor 2 wilayah yang berbeda, yakni sebagian di Bantul dan lainnya di kota Yogyakarta.
"Ini merupakan upaya bagaimana caranya supaya penanganan pusaka budaya pasca gempa bisa lebih komprehensif. Yakni bukan hanya soal mitigasi tetapi juga kalau kawasan tersebut mempunyai heritage kemudian terlupakan, maka akan kita tangani," ujarnya ketika ditemui di komplek Kepatihan, Kamis (20/5).
Menurutnya, pihak JRF juga akan melakukan perbaikan rumah-rumah yang ketika gempa ambruk termasuk juga penataan di sekitar rumah joglo. "Rencananya di tiap desa ada satu rumah atau joglo yang sifatnya untuk digunakan publik. Kami juga akan tangani sekitar 5 rumah yang sifatnya individu tetapi dikelola bersama masyarakat," katanya.
Dijelaskannya, dana yang akan dialokasikan untuk pengelolaan rumah publik adalah berkisar Rp 250 juta untuk tiap rumah. "Ini dalam artian jumlah itu bisa untuk membangun kembali satu set entah itu pendopo dalem atau joglo yang juga difungsikan untuk fungsi publik. Jadi tidak hanya mengembalikannya ke bentuk semula tetapi misalnya juga bisa untuk pertemuan atau kegiatan publik disitu," jelasnya.
Setelah gempa di DIY terdapat sekitar 80 rumah yang ambruk. Dimana sebagian pada tahun 2006 sudah mendapatkan bantuan pembangunan dari pihak asing. "Kalau kami sendiri mungkin tidak bisa menangani semua. Tetapi kami ingin menularkan kepada masyarakat Kotagede dan kota lain mengenai bagaimana cara mengembalikan rumah joglo yang telah banyak rusak dan juga terjual," katanya.
Pihaknya mengaku akan berkonsentrasi terhadap bagaimana menata kambali kawasan Kotagede dengan segala pusaka yang dimiliki. "Kami menyayangkan adanya pusaka yang rusak dan dijual. Karenanya pendekatan melalui sekber ini diharapkan bisa memberikan sosialisasi pada masyarakat yang mungkin tidak bisa mengembalikan joglo ke bentuk semula karena tidak tahu atau karena dana. Disinilah kami coba tawarkan dengan dana ini bagaimana memperbaiki joglo tersebut. Tentu saja mengembalikan joglo yang sudah terjual itu sulit, tetapi bagaimana mempertahankan joglo yang ada supaya tidak terjual," imbuhnya. (eyu)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda